AWAL MUNCULNYA SENI PERTUNJUKAN TRADISIONAL BALI
Telah dapat dipahami bahwa pulau Bali yang kecil, tetapi mempunyai nama besar di mata dunia bukan karena sistem politiknya, bukan pula karena ekonominya, tetapi karena memiliki seni budaya yang sangat mengagumkan. Salah satu cabang kesenian yang cukup besar memberikan bentuk terhadap identitas budaya Bali adalah seni pertunjukan tradisional Bali . Seni pertunjukan tradisional Bali mempunyai bentuk dan struktur yang berbeda dengan seni pertunjukan lainnya di Indonesia. Bentuk dan struktur seni tradisional Bali diikat dengan pola-pola budaya serta nilai-nilai tradisi yang sangat kuat seperti konsep tri angga, konsep hulu teben dan konsep tri mandala. Fungsi seni pertunjukan tradisional Bali juga mengikuti konsep wali (sakral), yang hanya dipentaskan untuk kepentingan upacara, bebali (konsep keseimbangan antara sakral dengan profan) yang dipentaskan hanya untuk hiburan dalam rangka kegiatan upacara, dan balih-balihan (seni profan) yang bisa dipentaskan kapan dan dimana saja. Dengan demikian pelacakan sejarah akan menjadi penting agar dapat dipahami proses seni pertunjukan tradisional Bali sebagai identitas budaya Bali.
Gambaran proses sejarah itu akan dapat dilacak sejak budaya Majapahit terakumulasi di Bali, dan kemudian masyarakat Bali menjadi pewaris kebudayaan yang pernah besar di Nusantara. Jatuhnya Bali ketangan Majapahit, sejak pemerintahan Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten, menyebabkan raja dan pejabat-pejabat kerajaan di datangkan dari Jawa. Sri Kresna Kepakisan sebagai raja pertama setelah penaklukan Majapahit beristana di Samprangan, sehingga beliau juga dikenal dengan sebutan Dalem Samprangan. Atas prakarsa Arya Kebon Tubuh maka istana Samprangan di pindahkan ke Gelgel, karena di kraton
Samprangan sering terjadi pembrontakan-pembrontakan yang dilakukan oleh sisa-sisa rakyat Sri Asta Sura Ratna Bumi Banten yang sekarang lebih dikenal dengan sebutan orang Bali Mula. Ketika pemerintahan pindah ke Gelgel, dengan rajanya yang pertama adalah Dalem Ketut Ngulesir dari dinasti Kresna Kepakisan mulai mengundang seorang Brahmana dari Keling yang sering dikenal dengan Brahmana Keling untuk menjadi Purohita dan guru agama. Raja mulai mendalami ajaran agama dan memberikan perhatian yang sangat besar kepada agama Hindu dengan cara mediksa. Diksa terhadap Dalem Ketut Ngulesir membuktikan bahwa raja disamping sebagai kepala pemerintahan juga sebagai kepala dalam bidang keagamaan. Bali pada waktu itu berada dibawah kedaulatan kerajaan Majapahit, hal ini dapat dibuktikan ketika terjadi Paruman Agung para raja di Majapahit, Dalem Ketut Ngulesir juga hadir didalamnya dan diberikan hadiah berupa pakaian kebesaran dan keris Ki Nagapasah. Pemberian tanda kebesaran berupa pakaian kebesaran dan keris pusaka menunjukan bahwa simbol-simbol budaya Majapahit dialirkan kekerajaan-kerajaan vasal. Terjadinya proses untuk mengalirkan budaya Majapahit ke Bali juga dibuktikan dengan dirintisnya jalur transportasi seperti; Mimba (Intaran), Kuta, Tuban, Klahan, Kedonganan, Seseh, Ganggondak, Uman, Kapurancak, Angkah, Puloayam, Tlagorung, Pejarakan, dan sampai ke Bubat. Dengan demikian berangsur-angsur budaya Majapahit berakulturasi dengan budaya Bali yang telah dipengaruh oleh budaya India, Cina, dan tradisi Megalitik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar